Total Pageviews

Friday, May 4, 2012

Don't Say I Love You (Part 1)

Aku memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Untuk sesaat aku menghapus air mataku yang baru saja keluar. Untuk sekejap pandanganku menjadi jernih, namun kembali buram setelahnya. Aku berusaha untuk tidak menangis tetapi usahaku tampak sia-sia.

"Ixora? Apakah kau ada di sini?" sebuah suara terdengar dari lorong koridor. Cepat-cepat aku menghapus air mataku dan menghilangkan jejak yang ditinggalkan air mata itu. "Syukurlah kamu masih ada di sini" cewek itu berkata sambil tersenyum, senyuman yang dipaksakan,"Mau pulang bersamaku?".

Aku menatap cewek itu dengan tatapan tidak percaya, "Rosa?". Rosa menghampiriku dengan tatapan sendu. Rambut cokelatnya yang panjang tampak sedikit acak-acakan. Apakah dia baru saja menangis? Batinku sambil menatap mata hijaunya yang memantulkan sinar mentari senja. "Kau kenapa?"

Ia menggelengkan kepalanya dan menunduk menatap lantai, seakan-akan di lantai terdapat tulisan yang ia akan katakan. "Dave menolakku" katanya serak dan ia memelukku erat. Aku memeluknya balik dan mendengarkan keluh kesahnya yang ia tuangkan dalam isak tangis. 

Rosa adalah kakak kembarku. Tetapi meski penampilan kami di luar sangat mirip, aku berbeda jauh dengannya. Rosa pintar, sedangkan aku tidak. Rosa dapat bersikap sangat lembut dan sabar, sedangkan aku tidak. Rosa benar-benar tau bagaimana untuk bersikap bagi seorang wanita, sedangkan aku tidak. Singkatnya, dia nyaris sempurna. Kekurangannya hanyalah ia tidak jago olahraga dan tidak dapat beradaptasi dengan suasana baru, 2 poin yang merupakan kelebihanku.

Aku menepuk pundaknya lembut, "mau pulang sekarang?" tawarku setelah ia puas bercerita. Ia mengangguk dan menghapus sisa-sisa air matanya. Kami berjalan dalam diam menuju rumah kami yang tidak jauh dari sekolah. Aku langsung membukakan pintu untuk Rosa dan membiarkannya masuk lebih dulu. Rosa tidak berkata apa pun kecuali memberi senyuman di bibirnya. Kami lalu berpisah saat masuk ke kamar masing-masing.

Aku menjatuhkan diriku di atas kasur yang empuk. Aku bingung harus merasakan apa. Di satu sisi aku senang Dave menolak Rosa karena aku juga menyukai Dave. Tapi di satu sisi aku merasa sakit melihat kesedihan Rosa. Seketika itu juga aku lan gsung merasa pusing. "Aaaaaarg" erangku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal, menjadikan rambutku yang pendek berantakan. Kenapa semua ini harus menjadi complicated begini sih? tanyaku kesal.

Aku menatap mataku dan membayangkan Dave. Dave adalah temanku sejak kecil. Dari kecil dia sudah menjadi pusat perhatian dan terkenal karena dia mampu bersosialisasi dengan baik. Aku sudah menyukainya sejak lama. Hanya saja akhir-akhir ini aku agak menjaga jarak dengan Dave. Aku merasa Rosa mencintai Dave. Apalagi mereka sangat dekat, dan tiba-tiba saja aku merasa Dave sangat jauh dariku. Aku ingin menyerah tentang Dave dan ingin sekali membantu Rosa agar dapat bersama dengan Dave. Mereka pasti akan sangat cocok bersama.

Aku menghela nafas panjang dan memeluk gulingku erat. Untuk beberapa lama aku menatap langit-langit dalam hening sebelum menutup mata dan tidur. Mungkin hari ini adalah hari yang melelahkan bagiku, tapi setidaknya hari ini bukan hari yang terburuk. Ini masih lebih baik daripada hal-hal yang akan menghampiriku di hari-hari yang akan datang
***

Tittle : Don't Say I love You
Creation by: Pradana Wulandari
Genre : Romance, drama,
Type : Short Story
Category: teen

You are More than Special

Lenna membuka matanya perlahan. Untuk sesaat dia mengira dia sudah mati. Tetapi pemandangan di depannya itu makin menguatkan kalau ia belum mati. Ya, dia berada di sebuah kamar rumah sakit. Tidak ada siapa pun di sana. Dari jendela kecil di pintu, dia melihat beberapa orang suster terlihat mondar-mandir di depan kamarnya. Seorang suster masuk ke kamarnya sesaat kemudian.

"Sudah bangun?" tanya suster itu ramah sambil tersenyum.

Lenna terdiam. Mulutnya seakan terkunci, tidak tergerak untuk menjawab pertanyaan suster tadi. Matanya terpaku menatap suster tadi. Ia seakan-akan sibuk menatap suster itu.

Suster itu masih tetap tersenyum. Dengan lembut namun cekatan dia mengukur suhu tubuh Lenna dan mengecek tekanan darahnya. "Pacarmu keren sekali kemarin. Dia membawamu ke sini. Sangat perhatian. Mungkin sebentar lagi dia datang." kata suster itu sebelum meninggalkan ruangan.

Lenna hanya dapat menatap tidak percaya. Dilihatnya suster tadi hingga sosok itu menghilang. Pacar? Pacar dari mana? Di ingatannya dia tidak punya pacar. Siapa yang suster tadi katakan?

Entah mengapa dalam hitungan detik, ingatannya terbawa pada kejadian semalam. Dia mencoba melompat dari sebuah jembatan yang terletak di atas sebuah sungai dengan arus yang deras. Ah, harusnya dia sudah mati kan saat itu? Hanyut terbawa arus. Terlebih dia tidak dapat berenang, mengapa ia masih dapat selamat.

"Kamu baik-baik saja?" sebuah suara mengejutkan mata Lenna. Mata Lenna langsung terbuka lebar dan memandang ke arah datangnya suara.

"Andrew?" Lenna menatap Andrew dengan tidak percaya. Apakah yang dimaksud suster tadi Andrew? Tapi Andrew hanyalah teman sejak kecilnya.

"Syukurlah. Setidaknya kamu tidak kehilangan ingatan". Andrew duduk di samping Lenna. Menggenggam tangan cewek itu dengan lembut.

"Kenapa? Kenapa kamu masih menyelamatkan aku?" tanya Lenna. Mendadak suaranya bergetar. "Aku sudah ingin meninggalkan dunia ini sejak lama dan di saat aku memiliki keberanian untuk melakukannya, kamu malah menyelamatkan aku. Kenapa? Kamu jahat banget! Sama seperti orang-orang lainnya, sama seperti Tuh..."

Lenna belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Andrew meletakkan telunjuknya di bibir Lenna. "Jangan menyalahkan Tuhan" katanya lembut. "kamu tau ga, Tuhan itu baik banget sama semua umatnya"

"Itu yang selalu kamu katakan... Tapi dia selalu melupakanku" mendadak air mata Lenna turun membasahi kedua pipinya. "Dia memberi aku kehidupan yang berbeda. Dalam tubuh lemah yang hanya dapat terduduk di kursi roda, dan orang-orang yang menganggapku hanya sebagai 'sampah'. Bahkan keluarga ku pun berpikir demikian."

Andrew membiarkan Lenna menangis hingga puas dan menghapus air matanya. "Tukah kamu, tanpa kamu melakukan sesuatu apa pun, ada orang lain di dekatmu yang berbahagia karena kamu ada?" tanyanya serius.

Lenna hanya dapat terdiam. Tidak mengerti maksud Andrew dan tidak tahu harus memberikan respon apa. "Maksudmu?" tanyanya kemudian.

"Aku selalu di dekatmu, mendengarkan keluh kesahmu, melakukan apa pun yang dapat kulakukan untuk menolongmu, karena... menurutku kamu berarti banget di kehidupan aku. Kamu lebih dari spesial dibanding siapa pun buat aku. Aku selalu bersyukur kepadaNya karena telah menciptakan kamu di sisi aku".

"Andrew, jangan bilang kalau kamu..."

"Ya, aku suka kamu. Ah mungkin LEBIH dari itu. Aku cinta banget sama kamu, Len. Jangan kamu coba tinggalkan aku. Karena bagi aku, kamu itu lebih dari segala-galanya di dunia ini" kata Andrew, tulus.

Lenna menitikkan air matanya. Terharu. Dia sudah menyukai Andrew sejak lama dan kini orang yang disukainya berada di sampingnya, dan mengatakan kalau dirinya sangat berarti bagi cowok itu. Lenna tiba-tiba tersadar karena kata-kata Andrew. Selama ini dia terlalu sering menyalahkan Tuhan tanpa peduli perasaan orang-orang yang berada di dekatnya. Dan sekarang Tuhan masih memberinya hidup. Tuhan masih menginginkan dia berada di dunia agar dia dapat meraih sesuatu yang dinamakan 'kebahagiaan'.

Andrew, mungkin kamu benar, Tuhan itu, baik banget... batinnya, tulus.
***


Tittle : You are More than Special

Creation by: Pradana Wulandari
Genre : Romance, drama,
Type : Short Story
Category: teen

January, 5 2012

Dear John

Dear John,
kamu tahu? Ini pertama kalinya aku menulis surat padamu sejak terakhir kita bertemu, itu sudah lama sekali. Tapi aku tidak mungkin lupa awal kita berjumpa.
Kita pertama bertemu di tempat les musik. Kamu bermain piano saat itu, dan aku sedang mencoba "bolos" les biola. Ketika mendengar dentingan piano yang kamu mainkan, aku seakan terpanggil, terpanggil untuk menghampirimu. Dari pintu yang sedikit terbuka, aku melihat sosokmu yang sedang bermain piano. Sangat elegant, sungguh. Saat kau mengakhiri permainanmu, aku tanpa sadar masuk dan bertepuk tangan. Mukamu mendadak merah. Aku pun begitu. Kita berkenalan setelahnya.Dan aku terkejut, ketika tahu bahwa kita satu sekolah, satu kelas, bahkan secara kebetulan kita satu ekskul di tahun ajaran yang akan dimulai minggu depan.
Aku mengatakan, semua hal tentang aku dan kamu yang saling berhubungan adalah kebetulan, dan kamu selalu menegurku. Kau katakan ini takdir. Selama di SMA aku senang sekali mengenalmu. Kamu membuat kehidupanku lebih bersinar dibanding sebelumnya. Rambutmu yang kecoklatan, kulitmu yang putih, jari-jarimu yang lentik, aku suka itu. Tapi, yang paling kusukai adalah sosokmu ketika bermain piano.
Kamu jarang ikut kegiatan olahraga, kamu bilang kamu tidak bisa olahraga. Kamu bilang kamu orang yang selalu gagal dalam berolahraga. Tapi semua mata menatapmu, terdiam ketika melihatmu bermain basket. Kamu tidak pernah bermain untuk waktu yang panjang. Tapi kehadiranmu selalu dinanti oleh banyak orang, khususnya wanita.
Kamu tidak percaya ketika aku mengatakan kamu mempunyai banyak penggemar, katamu karena kamu bukan orang populer dan jarang berbicara dengan orang lain kecuali aku. Tapi kamu tidak dapat menjelaskan mengapa banyak wanita yang menembakmu, dan ketika Valentine datang, mereka berlomba-lomba menjadikan kamu sebagai kencan mereka.
Aku masih ingat, hanya kamu dan aku murid yang sungguh-sungguh mengikuti kegiatan ekskul di seni musik. Kita sering berduet. Menciptakan lagu bersama. Membuat impian bersama. Membuat janji bersama. Ya, kita berjanji akan menjadi pemain musik yang terkenal kan? Kita berjanji untuk menciptakan konser bersama keliling dunia, terutama Amerika. Kamu masih ingat kan?
Kamu tahu, aku sedih dan tidak berhenti menangis ketika kamu pergi meninggalkanku tanpa memberitahu apa pun. Katamu, kamu mau melanjutkan sekolah keluar negeri. Aku masih ingat bagaimana cerita pastinya.
Waktu itu musim dingin pertengahan semester 1. Kita kelas 3, saat-saat terakhir di SMA. Kamu mulai jarang hadir sekolah, juga jarang hadir les. Tapi bukan berarti kita jarang bertemu. Aku sering mengantarkan catatan ke rumahmu. Dan harus kuakui aku senang sekali setiap aku ke rumahmu. Tidak terlalu besar namun terkesan mewah. Di ruang utama ada piano mu. Warnanya putih dan cukup besar. Kamu bilang kamu selalu memakai piano putih setiap bermain piano. Katamu, piano putih itu selalu memikat. Cukup memberiku penjelasan di mana pun kamu bermain piano pasti kamu memainkan yang berwarna putih.
Pada kali kesekian aku ke rumahmu, aku masih inngat raut mukamu. Kamu terlihat sangat sedih saat itu. Kamu bilang padaku waktu keberangkatanmu keluar negeri semakin dekat. Dan kamu mengeluarkan isi hatimu. Kau bilang kau suka padaku sejak kali pertama kita bertemu. Kau bilang kau benar-benar mencintaiku. Katamu kamu baru dapat mengatakan itu padaku di hari-hari terakhir kamu bersamaku. Kamu takut suatu saat nanti aku kecewa mendengar isi hatimu. Aku ceritakan padamu saat itu. Aku juga mencintaimu. Dan aku tidak akan menyesali perasaanku padamu. Kita tidak benar-benar menjadi sepasang kekasih saat itu. Karena kamu hanya mengungkapkan perasaanmu dan aku pun begitu. Meski saat itu aku sebenarnya berharap kamu mau menjadikan aku kekasihmu.
Saat aku mau pulang, kau genggam tanganku dan enggan melepaskan. Aku pun begitu, aku mendapat firasat aku tidak akan berjumpa denganmu jika kulepaskan tanganmu. Kau berbisik ditelingaku. "Apa pun yang terjadi, ingatlah, aku akan selalu ada di sisimu" samar-samar kamu seakan meminta maaf padaku, meski aku tidak tahu mengapa kamu minta maaf padaku.
Lalu, kamu bilang, kamu ingin kita berduet di hari terakhir kamu di sekolah bersamaku. Tapi ketika hari itu datang, kamu tidak muncul. Aku ingin membatalkan konser itu tapi aku sudah berjanji padamu sebelumnya. Kalaupun kamu tidak datang, aku pasti tetap menjalankan konser itu. Ketika konser aku sering menatap piano putih yang berada di belakangku. Berharap kalau-kalau kau muncul. Tapi sampai akhir acara kamu tidak juga datang.
Pulangnya aku ke rumahmu, dan rumahmu sangat sepi. Tidak ada orang di sana. Aku membuka hanphoneku dan tak ada satu pun pesan darimu. Hari kemudianlah aku tahu, kamu sudah pergi. Tapi kamu berbohong padaku. Kamu tidak pergi ke luar negeri. Kamu benar-benar sudah pergi. Kamu bohong padaku tentang olahraga, dari ibumu akhirnya kutahu kamu tidak bisa berolahraga karena jantungmu lemah. Kamu pergi untuk selamanya, meninggalkan aku sendiri.
Awalnya aku tidak tahu apa yang kurasakan. Aku sedih, kecewa, marah. Semua perasaan itu berkumpul menjadi satu. Dan air mataku tidak dapat berhenti mengalir. Seminggu kemudian ibumu datang kepadaku, memberiku surat yang kau tulis di hari terakhirmu di dunia. Tangisku pecah ketika aku membaca surat itu. Rose, Amelyn, dan Lily berusaha menenangkanku, tapi tangisku semakin menjadi. Taukah kamu aku benar-benar ingin bertemu?
Itu kejadian 30 tahun yang lalu. Aku telah menikah dengan seorang pembalap. Punya dua anak. Dan, sekarang aku sudah menjadi pemain biola yang terkenal. Aku menggelar konser dibanyak tempat, keliling dunia. Tapi, kamu tau, setiap aku konser, aku selalu menyediakan piano putih. Entah mengapa, aku seakan merasakan hadirmu. Mengawasiku dari piano itu. Seandainya kamu masih ada, aku yakin, kamu akan memainkan piano itu untukku.
Ingin rasanya aku mengirim surat ini padamu. Aku ingin bertemu denganmu. Mencurahkan semua perasaanku yang kali ini aku akan ungkap sejujur-jujurnya. Tapi tidak mungkin kan? Tapi aku tahu kau pasti membaca surat ini karena kau bilang kau akan selalu ada di sisiku.
Suatu saat ketika aku sudah sangat tua, dan Tuhan memanggilku, mungkin kita bisa bertemu lagi di sana. Sampai bertemu lagi, John....
***


creation by : Pradana Wulandari
tittle : Dear, John
genre : romance
category : Teen
Type : Short Story




Dec, 8 2011